Minggu, 31 Juli 2011

Kantor Coral Triangle Center (CTC) Diresmikan


Bertempat di jalan Danau Tamblingan No 78, Sanur - Bali, Indonesia, kantor Coral Triangle Center (CTC)- sebuah LSM Indonesia bergerak di bidang pelestarian sumberdaya hayati pesisir dan laut, khususnya di wilayah segitiga karang dunia (coral triangle) telah diresmikan pada tanggal 30 Juli 2011.

Pada acara launching kantor CTC, dihadiri oleh segenap mitra CTC baik dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, perwakilan pemerintah Propinsi Bali, Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan (DPPK) KLungkung, LSM, masyarakat Nusa Penida, para pengusaha wisata bahari, donor, dan para sahabat CTC.

Bapak Geaorge Tahija, Chair of Board CTC memberikan ucapan selamat datang dan sambutan bersama dengan Bapak Suseno - vice head of CTI regional secretariat dan Bapak Suarbawa, tokoh masyarakat yang sangat concern terhadap pelestarian dan pesisir laut di Nusa Penida.

CTC adalah sebuah LSM berbadan hukum Indonesia, fokus pada pengembangan kapasitas (capacity building) terkait konservasi kelautan di kawasan regional segitiga karang (coral triangle) yang meliputi enam negara yaitu Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan Salomon Island. Program CTC juga dilaksanakan dalam rangka mendukung Coral Triangle Initiative (CTI).

Saat ini CTC bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam pengembangan berbagai pelatihan terkait konservasi laut dan sekolah untuk pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (school for MPA managers). CTC juga mengembangkan learning site di Nusa Penida sebagai site percontohan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan juga jejaring pembelajaran (learning network) di tingkat regional.

Harapannya kedepan CTC akan menjadi regional hub terkait training and learning konservasi laut dengan didukung oleh ke-12 advisory boardnya yang berasal dari enam negera coral triangle.

www.coraltrianglecenter.org

Kamis, 28 Juli 2011

KKP Tetapkan Kawasan Konservasi Nusa Penida

JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan Nusa Penida, Bali,sebagai kawasan konservasi kelautan. Penetapan itu bertujuan melindungi kekayaan laut dan mengembangkan pariwisata, sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat Luas areal kawasan konservasi Nusa Penida 20.057 hektare (ha).

"Masyarakat setempat umumnya nelayan, dan pendapatan mereka diperoleh dari laut Karena itu, kawasan di mana mereka menggantungkan hidup harus dilindungi," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad di Denpasar, Bali, Minggu (21/11).

Fadel mengatakan, selain kawasan konservasi perairan Nusa Penida, kawasan serupa juga berada di beberapa wilayah Indonesia. Pembentukan kawasan tersebut menjadi bagian dari penerapan inisiatif segi tiga terumbu karang atau coral triangle inisiatif(Lil). Inisiatif segi tiga terumbu karang diprakarasi lima negara, yakni Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon.

Kawasan konservasi perairan Nusa Penida ini akan mendukung dan memenuhi target Indonesia memiliki kawasan konservasi seluas 20 juta hektare pada tahun 2020. Kini terdapat total luas kawasan konservasi perairan 13 juta hektare.

Sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan, kawasan ini telah dikaji aspek ekologi laut yang dilakukan beberapa ahli kelautan dunia, seperti DR Emre Turak dan Gerry Allen tahun 2009. Dalam kajian dua ahli ekologi bereputasi internasional itu ditemukan 296 jenis karang dan 576 jenis ikan, lima jenis ikan di kawasan Nusa Penida spesies baru. Selain itu, terdapat 1.419 hektare terumbu karang, 230 hektare hutan mangrove dengan 13 jenis mangrove, dan 108 padang lamun dengan delapan jenis lamun.

Pembuatan Zona

Fadel menjelaskan, pihaknya kini sudah menetapkan zonasi kawasan konservasi perairan Nusa Penida sekaligus pendanaan jangka panjang. Pengembangan kawasan itu, kata Fadel, harus didukung pendanaan yang memadai guna memadukan pengembangan kelautan dan pariwisata.

Pengembangan kawasan ini selain diprakarsai KKP juga didukung The Nature Conservancy (TNC) Indonesia Marine Program dengan didukung oleh USAID Coral Triangle Support Partnership. Sebelumnya, Lembaga Pembangunan Internasional AS (USAID) berkomitmen untuk memberikan bantuan senilai USS 40 juta, guna mendukung upaya internasional untuk menyelamatkan coral triangle. Biota laut yang masuk dalam program penyelamatan itu yakni hutan bakau, terumbu karang, dan aneka ragam ikan.

USAID dan Deplu AS dalam rtset mereka menyebutkan, perusakan terumbu karang dan penangkapan ikan secara berlebihan akan mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat pesisir. Mereka, tulis riset USAID, 90% menggantungkan hidup di laut

Penghancuran itu juga mengakibatkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada ekosistem lingkungan hidup Indonesia yang unik. CTI yang didukung pendanaan oleh USAID berupaya untuk melindungi 6 juta kilometer persegi lautan dan pesisir yang kini terancam rusak.

Coral triangle menjadi pertemuan antara Samudera Hindia dan Pasifik serta menjadi tempat bagi 30% terumbu karang dunia dan 75 % jenis terumbu karang yang sudah dikenal luas di dunia.

Sementara itu. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik mengatakan, upaya pemerintah menggenjot produksi perikanan tangkap harus diimbangi dengan upaya melindungi nelayan tradisional.

Menurut Riza, nelayan tradisional menyumbang 75% volume produksi perikanan nasional. Karena itu, pemerintah perlu mendukung nelayan dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan. "Subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan diversifikasi penggunaan gas harap segera direalisasikan," kata Riza, (jjr)

http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/3625/KKP-Tetapkan-Kawasan-Konservasi-Nusa-Penida/?category_id=58

Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Ke Nusa Penida


Berkaitan dengan serangkaian acara Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat - Hillary Clinton ke Bali pada minggu ketiga Juli 2011, Mario Otero - Wakil Hillary Clinton berkesempatan mengunjungi Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida pada tanggal 22 Juli 2011. Kunjungan Maria Otero tersebut untuk melihat salah satu lokasi KKP yang didanai oleh USAID Indonesia.

Pada kunjungan tersebut Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat tersebut didampingi oleh Direktur Lingkungan USAID Indonesia - Alfred Nakatsuma, Manager program Kelautan USAID Indonesia Celly Catharina, Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Klungkung yang juga sebagai Ketua POKJA KKP Nusa Penida - Drh I.G.N Badiwangsa, Kabid Pulau Pulau Kecil - DPPK Klungkung - Rudiana, CTC MPA Learning Site Manager - Marthen Welly, CTC Outreach Coordinator - Wira Sanjaya, Godan Renosari - Deputi Conservation TNC dan Rudyanto - CSTP Manager TNC.

Pada kesempatan tersebut Ketua POKJA KKP Nusa Penida menjelaskan proses pembentukan KKP Nusa Penida dan kemajuan program terkait KKP Nusa Penida. Mario Otero juga sempat berbincang dan berdiskusi dengan masyarakat di Nusa Lembongan terkait POKMASWAS guna menanggulangi aktivitas menangkap ikan dengan cara merusak di dalam KKP Nusa Penida.

Marthen Welly dari CTC juga menjelaskan kondisi terumbu karang dan mangrove di Nusa penida serta manfaatnya bagi masyarakat Nusa Penida sehingga penting untuk dilindungi melalui pembentukan KKP yang didukung oleh USAID Indonesia.

Sebelum pulang menuju Tanjung Benoa, Maria Otero dan rombongan berkesempatan menyusuri perairan di sekitar Nusa Lembongan dan Nusa Penida untuk melihat secara langsung ekosistem mangrove, kegiatan pariwasata bahari, kegiatan perikanan dan budidaya rumput laut.

Mario Otero mengatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat pada prinsipnya sangat senang mendukung upaya pelestarian sumberdaya pesisir dan laut di Nusa Penida untuk kesejahteraan masyarakat Nusa Penida.



Foto by USAID Indonesia

Profil Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida


Coral Triangle Center (CTC) yang sebelumnya bernaung dibawah The Nature Conservancy bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Kabupaten Klungkung telah menerbitkan Profil Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida, Kabupaten Klungkung - Bali. KKP Nusa Penida sendiri telah dicadangkan melalui Peraturan Bupati Klungkung No.12 tahun 2010 dengan total luas 20.057 hektar.

Profil KKP Nusa Penida setebal 78 halaman ini memuat kondisi umum Kecamatan Nusa Penida, potensi wisata bahari dan potensi perikanan. Selain itu di dalam Profil ini juga terdapat data data ekologi, sosial ekonomi dan oseanografi dari berbagai survey yang dilakukan CTC bersama para mitra. Data-data tersebut diantaranya data jenis terumbu karang, jenis ikan, jenis mangrove, jenis padang lamun, jenis burung, jenis mega-fauna laut, lokasi-lokasi penyelaman (dive point), lokasi-lokasi penangkapan ikan (fishing ground) dan data budaya serta matapencaharian masyarakat Nusa Penida.

Penyusun Profil ini adalah Nyoman Dharma, SH (Ketua POKJA KKP Nusa Penida dari PemKab Klungkung), Drs. Riyanto Basuki, MSi (Kabid KKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ir. Marthen Welly (CTC Nusa Penida Project Leader).

Profil bisa didapatkan di kantor CTC dan pembuatan profil ini didanai oleh USAID-CTSP Indonesia.

CTC Survey Hutan Bakau (Mangrove) Nusa Penida

Coral Triangle Center (CTC) bekerjasama dengan Badan Pengelola Hutam Mangrove (BPHM) wilayah 1 telah melakukan survey untuk mengidentifikasi jenis hutan bakau (mangrove) di Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Dalam survey tersebut juga dilakukan identifikasi jenis burung yang ada di ekosistem mangrove tersebut.

Hasil identifikasi mangrove yang dilakukan CTC bersama BPHM wilayah 1 di Nusa Penida adalah ditemukannya sebanyak 13 jenis (spesies) mangrove dan 30 jenis burung, 5 diantaranya adalah jenis burung air.

Marthen Welly, CTC Nusa Penida project Leader mengatakan bahwa sebarang mangrove di kecamatan Nusa Penida umumnya berada di dua pulau yaitu Nusa Lembongan dan Nusa ceningan dengan total luas 230,07 hektar. Lebih lanjut Marthen menambahkan bahwa hutan bakau (mangrove) merupakan salah satu ekosistem penting pesisir selain padang lamun dan terumbu karang.

Fungsi penting hutan bakau (mangrove) bagi Kecamatan Nusa Penida yang telah dideklarasikan sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP) oleh Menteri Kelautan dan Perikanan bersama dengan Gubernur Bali, Bupati Klungkung dan Duta Besar Amerika untuk Indonesia pada bulan November 2010 adalah sebagai tempat berkembang-biak, mencarai makan dan berlindung bagi ikan dan biota laut lainnya. Selain itu hutan bakau (mangrove) berfungsi sebagai benteng alami pantai untuk meredam hempasan ombak dan gelombang sehingga terhindar dari abrasi.

Data lengkap mengenai jeni-jeni hutan bakau (mangrove) dan burung di Nusa Penida dapat dilihat pada : Profil Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali.

CTC Survey Padang Lamun (Seagrass) Nusa Penida

Coral Triangle Center (CTC) bekerjasama dengan Pusat Studi Kelautan Universitas Undayana, telah mengadakan survey jenis Padang Lamun (Seagrass) yang terdapat di Nusa Penida pada tahun 2010.

Dari survey seagrass yang dilakukan CTC dan Universitas Udayana selama 1 minggu tersebut ditemukan sebanyak 8 spesies (jenis) lamun di Nusa Lembongan dan Nusa Penida. Denny Yusuf, MSc, Ketua Pusat Studi Kelautan Univeritas Udayana menyebutkan bahwa sebaran padang lamun (seagrass) di Nusa Penida utamannya terdapat di Nusa Lembongan dan sekitarnya. Sementara itu, Marthen Welly, CTC Nusa Penida Project Leader menambahkan bahwa padang lamun (seagrass) merupakan salah satu ekosistem penting pesisir selain mangrove dan terumbu karang. "Padang lamun merupakan tempat bertelur, mencari makan dan perlindungan bagi ikan dan biota laut lainnya", kata Marthen.

Jenis-jenis padang lamun yang terdapat di Nusa Lembongan dan Nusa Penida adalah :
1. Halodule uninervis
2. Thalassia hemprichii
3. Halophila decipiens
4. Halophila ovalis
5. Enhalus acoroides
6. Cymodocea rotundata
7. Syringodium isoetifolium
8. Cymodocea serrulata.

Data mengenai jenis-jenis padang lamun (seagrass) ini dapat dilihat pada : Profile Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida Kabupaten Klungkung.

Senin, 17 Mei 2010

Indonesian Fisherman Becomes a Local Environmental Hero

Have you ever thought about how colourful aquarium fish are captured?
A common method is to use cyanide bombs to temporarily stun the fish but not kill them.

However in the process cyanide kills the coral reef doing lasting damage to the ecosystem. But on the small island of Nusa Penida off the coast of Bali, Rebecca Henschke met a local environmental hero who is educating and changing the way fisherman work.

“When I was younger, around twelve years old, I didn’t know anything about the damage of cyanide. We used to just buy cyanide. Go fishing for small tropical fish. At the same time as getting small fish they also died in an entertaining way. They leaped up into the air. As a kid I used to think that was really funny.”

Fisherman, painter and seaweed farmer, I Wayan Ujiana, also used to mine sand to build his house and regularly cut down mangrove trees. But now he sits in a room he has turned into an environmental information centre.

Posters about the islands rich biodiversity and images of sea-life drawn by his students cover the walls.

“Now I don’t think it’s funny at all. It’s was a very wrong way of thinking. Now even if you want to buy cyanide on this island it’s very hard. If I find someone selling it I go straight up to them and ask them what is this for? The next day they are usually not brave enough to sell it.”

He is a local environmental hero who is leading a grass roots movement to have 20,000hectares of the sea around Nusa Penida declared a government-backed Marine Protection area.

“With a protection area, with different zone areas for different activities, there will a legal basis for our work. At the moment we are just trying to educate people but if there is a punishment involved it will make our work easier.” The Marine Protection Area will create a no-fishing area where breeding can take place as well as an area for tourism and sea weed farming.

This month the Marine Protection Area will be dedicated by the government. It’s been a four-year-long process. “Because we think that the area needs to be protected but at the same time we need to ensure that the community can benefit from it.”

Elis Nurhayati from The Nature Conservancy (TNC), the international environmental group behind the idea, explains why it’s taken so long.

“We want this vision that conservation can come hand-in-hand with development. Because often it will fail if we come with regulation first. First we want to be aware of the benefits of a marine protection area. Once they buy into the idea then they will respect it without it having to be enforced very severely.”

Making sure that sustainability equals development means creating eco-tourism opportunities. In a wooden canoe, we glide through one-meter wide channels. Either side of us is dense mangrove forest. Below fish breed, birds nest in the trees and lizards hunt in a labyrinth of above ground roots.

We are on a mangrove forest tour.

Wayan says ten years ago these mangroves were cut down to fuel the salt plantations. Now this is a protected area where at least 20 tourists a day visit. And to keep the mangroves clean the local community now holds a clean-up once week. To make sure plastic is not stopping new shoots growing up. But tourism is also bringing great damage to the island.

Coming down to the beach you get a sense of the intense tourism that the island is now dealing with. The hillsides are stacked with bungalows. Out to sea the small harbour is full of boats offering snorkeling and dive trips. In front of me is a huge pontoon with waterslides where tourists are playing and heading off from on speed boats and paragliding.

Wira Sanjaya, the community outreach office with TNC, says the anchor below that pontoon moves and smashes the coral reef below it. There is also no waste treatment on the island; it all goes directly out to sea, Wira tries to explain to tourist operators and the government that things need to urgently change for the industry to survive.

“The people come here to see the beautiful coral reef and the healthy mangroves. And in July to September they come here to see the ocean sun fish we call the Mola-Mola. So many come here and we need to make all these activities sustainable: tourism, fishing, sea weed farming and, most of all, the environment.”

Before we leave the island we return to Wayan’s house - the teacher who used to cyanide bomb fish but is now the island’s leading environmentalist. He has two children now who have very different ideas of entertainment.

“My children are even more passionate than me. They will not even touch coral. I have raised them so they are not like what I was. I think they will replace me in leading the conservation effort. Because every time I plant mangroves or restore coral reefs I invite them even though they are small because I don’t know when I will die and they are the future.”

source : http://www.asiacalling.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1382%3Aindonesian-fisherman-becomes-a-local-environmental-hero&catid=1%3Aindonesia&Itemid=263&lang=en